Allahu
Akbar Allahu Akbar.. Panggilan shalat subuh menggugahku dalam mimpi malam itu.
Aku mencoba beranjak dari tempat tidur yang masih merayuku untuk tidur kembali.
Namun kewajiban ini pantang untuk aku tinggalkan. Ugghh.. Perut bawah sebelah
kiriku sakit, badanku berasa lebih lesu tidak seperti bangun tidur biasanya.
Aku merasakan udara yang keluar dari hidungku panas, aku menyalakan lampu untuk
menerangi ruang makan & kamar mandi yang berfungsi sebagai ruang dapur
juga, mataku merah saat aku melihat wajahku di cermin. Ya Allah, aku sakit.
Hari
ini adalah hari kesekian kalinya aku prakerin di Rawamangun. Tempat pertama
kali aku marasakan lelahnya bekerja & susahnya mencari uang. Tempatnya yang
tidak bisa dibilang dekat mengharuskanku berangkat pagi untuk sampai ke tempat
prakerin dengan transportasi menggunakan bus trans Jakarta. Satu minggu ini aku
sering melupakan persoalan sarapan, aku selalu tergesa mengejar waktu.
Menghindar dari lamanya kemacetan di kota ini & jarak tempuh yang lumayan
jauh.
“Bu,
perut Vivi sakit.” Aku meringik seperti anak kecil sembari memegang bagian
perutku yang sakit. Wajah ibuku yang masih basah sehabis mengambil air wudhu
langsung terlihat cemas.
“
Yaudah Vi, jangan masuk dulu deh hari ini. Nanti kalau ayah pulang, kamu langsung
berobat dari pada nanti kamu kenapa-kenapa ditempat prakerin kan malah repot.”
Rasa
sakit ini membuatku enggan melakukan kegiatan seperti biasanya. Setelah shalat,
aku kembali tidur di pembaringanku sampai terbitnya surya yang mengawali hariku
dengan sakit aneh ini, sakit yang baru pertama aku rasakan & aku harap ini
yang terakhir.
Udara sejuk di kota ini hanya dapat aku rasaan
saat pagi hari. Sangat berbeda dengan suasana di desaku yang masih alami, aku
dapat menghirup udara segar kapan saja. Karena itu, aku menjadi sangat suka
bangun pagi untuk sekedar menghirup udara yang belum tercemar polusi. Menghirup
udara yang sehat ternyata belum cukup untuk kesehatanku. Beberapa hari telat
makan saja aku sudah seperti ini. Ya Tuhan, jika aku tahu akibatnya akan
seperti ini, aku pasti akan selalu sarapan pagi.
Ibu membuatkan air hangat untuk
mandiku pagi ini, aku tidak memintanya tapi ibuku sangat baik begitu perhatian
padaku. Selesai mandi aku mencoba sarapan tapi baru satu suapan, rasanya
perutku tak mau menerima. Mual. Terdengar suara ibuku sedang menelfon, aku
menyimak sedikit percakapannya.
“Mas, ini loh adekmu sakit. Disuruh
makan malah dimuntahin terus, coba kamu kesini mas. Siapa tahu Vivi mau makan
kalo ada kamu.” Ternyata ibu sedang berbicara dengan kakakku. Huh, kakak yang
sombong, ia sudah melupakan aku demi pekerjaannya.
Aku hanya mampu meminum seteguk air
untuk mengganjal perutku yang lapar. Aneh. Lapar tapi aku sama sekali tidak
berselera makan apapun. Aku selalu menggelengkan kepala ketika ibu menawarkan
berbagai macam makanan yang hendak aku makan. Aku berbaring lagi & lagi
setelah aku pergi berobat disalah satu rumah sakit di Jakarta. Dokter
menyarankan aku untuk di rawat inap, namun dengan bersikeras aku tetap
menolaknya. Aku tetap ingin berada dirumah.
Aku tertidur sejenak sebelum
akhirnya aku melihat disampingku sudah ada pria jangkung, berusia 24 tahun
sedang tersenyum konyol melihatku terbaring. Wajahnya yang tampan namun
membuatku kesal hingga aku reflek membuang muka, aku tidak mau menatapnya.
“Adikku yang cantik ini kenapa ?
Sakit ?” Ia berbicara dengan nada menggoda. Logat Jawanya sangat kental
walaupun ia sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta.
“Mboten, Vivi mboten sakit.” Tidak,
Vivi tidak sakit. Begitu jawabku padanya, wajahku masih tak mau menatapnya.
Kakak sudah tidak menggubris
perkataanku. Dia pergi kedapur & membawa sepiring tahu Bandung goreng
kesukaanku. Tetapi tidak berselera ya tetap tidak berselera. Hingga ia harus
memaksaku sampai akhirnya sepotong tahu mampu aku makan. Masih mual, namun
tidak separah tadi.
Kakakku adalah orang yang sibuk,
aku merasa ia telah meninggalkanku. Kesuksesan meraih karir yang dulu ia
cita-citakan membuatnya lupa bahwa ia
mempunyai jadwal bermain denganku setidaknya satu minggu sekali. Dulu aku
sering bercanda denganya, mendengarkannya bercerita tentang Dewa Krisna,
membelaku saat aku di ejek teman & selalu menggendongku ketika aku mulai
lelah berjalan saat pulang dari kebun kakek. Ia adalah alasan mengapa aku tidak
ingin memiliki teman laki-laki atau yang biasa disebut pacar. Dengan
bersamanya, aku bahkan merasa memiliki lebih dari pacar. Tapi itu dulu. Ya.
Dulu sebelum ia berhasil seperti sekarang.
Aku sangat bahagia sekarang kakakku
sukses, tetapi jangan lupakan aku juga dong. Aku masih butuh perhatiannya, aku
masih ingin mendengarkan ceritanya. Ia sangat mirip dengan kakekku, iya
mengetahui berbagai cerita pewayangan, memiliki sopan santun yang sangat baik,
tampan, badannyapun tinggi, sangat berbeda denganku. Atau kakak sudah punya
pacar ? Huaahhh aku pasti akan sangat cemburu padanya bahkan mungkin aku akan
marah pada pacar kakakku itu. Aku tidak mau kehilangannya ya Tuhan.
“Kemana aja mas kemarin-kemarin ?
Kenapa baru bisa datang sekarang? Sibuk ? Atau sudah punya pacar?” Aku melirik
tidak suka kearahnya, ia sedang mengupas apel yang dibawakannya untukku.
“De, mas sibuk. Mas sering lembur.
Emang kenapa kalo mas punya pacar ? Kamu cemburu ya ?” Ia tertawa melihatku
kesal.
“Oh, jadi mas sekarang udah punya
pacar ?” Aku duduk & menghadap kearahnya.
“Hahaha serius banget sih de. Ya
engga lah. Kakak udah bahagia punya dua wanita cantik. Ibu & kamu. Nih
makan buah dulu biar cepet sembuh.” Ia menyuapkan sepotong apel padaku,
tangannya mengusap rambutku, bahkan mengacak-acak.
Ini saat-saat yang aku rindukan.
Tetapi mengapa ketika aku jatuh sakit, aku sangat merindukan berkeliling
Jakarta bersamanya. Tak terasa perutku telah kenyang, kakakku ini yang
membuatku lupa rasa sakit itu. Kakak yang menyiapkan semua yang aku butuhkan.
Mulai dari minum, makan sampai minum obat. Sebenarnya aku mampu melakukannya
sendiri, namun ini kesempatanku untuk bermanja-manja dengannya sebelum ia
kembali pada kesibukannya.
Kami mengobrol sembari menonton
film kartun Little Krisna, huff masih sama. Ia sangat mengidolakan Dewa Krisna
setelah ia mengaku mengidolakan Nabi Muhammad saw. Aku berbagi cerita
dengannya, tentang pengalamanku bersekolah di Uswatun Hasanah, tentang pertama
kali merasakan prakerin & tentang segala-galanya. Semua rasa rinduku
kutuangkan tanpa tersisa pada hari ini. Hingga ia mengantarku untuk tidur siang
& mengecup keningku sambil berkata.
“Tidur dulu ya de, mas mau kamu
cepet sembuh. Minggu depan kalau kamu sembuh mas janji mas mau ngajak kamu main
di TMII.” Nyaman mendengarnya berbicara hingga kenyamanan itu membuatku
terlelap dalam tidur.
Sudah sekitar 3 jam aku terlelap,
aku terbangun mendengar pembicaraan ibu & kakakku.
“Mas, kamu kapan mau nikah? Ibu
rasa sudah waktunya kamu untuk berumah tangga. Lagipula pekerjaanmu sudah
jelas. Pasti banyak wanita yang ingin menjadi istrimu.”
“Bu, menikah itu hal yang sakral.
Tidak bisa dimainkan, tidak bisa sembarangan mencari pasangan. Aku ingin mendapatkan yang terbaik sebagai
pendamping hidupku bu.”
Aku beranjak dari tempat tidur,
mereka menoleh & menghentikan perbincangan mereka. Rupanya ibuku ingin
kakak cepat berumah tangga. Ya Allah, jangan katakan bahwa aku akan kehilangan
kakakku. Waktu terus berlalu sampai pada waktunya kakakku harus kembali ke
tempat kostnya & menjalankan akttifitas seperti biasa. Bekerja, bekerja
& bekerja. Ia berpamitan setelah ia menunaikan shalat maghrib di mushola
dekat rumahku.
Aku ingin mengantarnya sampai ujung
jalan, namun kakak melarangku. Ia khawatir perutku akan sakit lagi. Aku berdiri
dengan tegap membuktikan bahwa aku sudah tidak sakit lagi, walaupun sebenarnya
rasa nyeri itu masih ada.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari
ini hari minggu, hari yang dijanjikan kakakku untuk menemaniku pergi. Pukul 7
pagi aku sudah rapi dengan jilbab pink, kaos warna putih, jaket pink, celana
jeans & sepatu kets warna pink. Aku sudah menunggu kehadirannya, walaupun
aku tahu ini masih terlalu pagi. Mungkin kakakku baru bangun tidur atau bahkan
masih tertidur dengan pulasnya karena kelelahan akibat lemburnya semalam. Namun
janji tetap janji, dia tidak boleh mengingkarinya kali ini. Aku sudah berusaha
untuk aku sembuh, agar aku bisa pergi dengannya. Jadi kakak tidak boleh
menganggap remeh perjuanganku untuk sembuh.
Kluung.
Nada BBM terdengar dari ponselku, aku berharap ini pesan dari kakakku.
Perkiraanku tepat, pesan dari kakakku. “De, mas baru jalan ke tempat kamu. Mas
lagi nunggu busway.” Huffft, kalau sekarang baru jalan, berarti aku harus
menunggunya setengah jam lagi agar dia sampai ke tempatku. Uuuuh masih lama,
aku sudah serapi ini.
Penantianku
ini berujung pada kebahagiaan dua pasang kaki yang melangkah bersama, dua wajah
yang terlihat sumringah, dua bersaudara yang bernostalgia mengingat saat masa
kecil dulu. Jilbabku mulai basah karena keringat yang mengucur setelah kami
berkeliling bersama. Kakak sedikit berlari mendahuluiku dan iapun berjongkok
membelakangi ku. “Ayo dek, sini kakak gendong.” Kalimat yang sama seperti
sepuluh tahun lalu. Dengan sedikit terengah, akupun digendong kakak. Masa-masa
yang kurindukan itu datang lagi. Dan kami kembali bersama, tanpa saling
melupakan lagi.
Aku
sayang kakak.