Sabtu, 06 Juni 2015

Aku Sudah Berani Pulang ke Banyumas Sendiri Loh



              Fiiuuhhh, aku menyeka keringat yang mengalir di dahiku, keringat ini tak berhenti mengalir karena terik matahari siang ini. Namun semangatku takkan pudar, dengan membawa berkas-berkas untuk melamar kerja sebagai penjaga toko yang sudah aku targetkan dari jauh-jauh hari. Aku berjalan dengan sangat pasti menuju arah mall terdekat dengan tempat tinggalku. Hari ini mulai libur semesteran, 2 minggu adalah waktu yang membosankan jika aku hanya mengurung diri di rumah. Aku pikir, dengan bekerja akan mengisi kegiatanku & aku akan mendapatkan penghasilan tambahan saat liburan.
                Keringat perlahan mengering setelah aku mulai melewati ruko demi ruko. Udara AC membuatku sedikit nyaman terhindar dari panas yang tadi sempat aku rasakan. Mataku menulusuri tulisan “Dibutuhkan karyawati, dengan persyaratan bla..bla..bla..”. Yappss aku melihatnya, aku menemukannya. Dengan semangat aku mengampiri ruko itu. Banyak sekali baju-baju yang bergantung disana, terdapat seorang wanita muda berkulit gelap dengan rambut keriting diikat sedang menata baju-baju. Aku menghampirinya, ia menoleh mendengar langkah kakiku. Ia tersenyum & memulai pembicaraan.
                “Iya dik. Ada apa ?” Sejenak ia berhenti bekerja. Pandangannya mengisyaratkan sebuah keingintahuan.
                “Saya lihat tulisan di depan ruko ini mba. Dibutuhkan karyawati & saya bersedia untuk bekerja disini.” Aku berbicara dengan sangat hati-hati, ini pengalaman pertamaku melamar pekerjaan. Aku masih berusia 15 tahun saat itu. Aku takut, bahkan sangat takut ditolak.
                “Sebentar, saya boleh liat berkas-berkasnya ?” Akupun menyodorkan map yang sedari tadi menjadi teman perjalananku.
                Ia membuka-buka map itu dengan seksama & teliti. Tak lama datanglah seorang wanita cantik, berkulit putih langsat, berambut pendek, sangat mirip dengan kakak sepupuku dikampung.
                “Mbak, ini ada yang mau melamar pekerjaan. Berkasnya lengkap.” Kata mbak yang berambut keriting memberi mapku ke mbak yang cantik itu.
                “Ini belum lengkap, pas fotonya mana ?” Ooopss iya, aku lupa mencetak foto. Ya Tuhan. Mengapa harus kelalaian seperti ini.
                “Emm. Yasudah mbak, saya mau mencetak foto dulu. Nanti saya kesini lagi. Bagaimana ?” Aku sedikit panik, namun tetap mampu mengendalikan ekspresi wajahku. Aku menampilkan bahasa tubuh sebaik mungkin, sesantun mungkin, agar aku dapat diterima bekerja disini.
                “Baiklah, saya tunggu ya dik.” Mba yang cantik itu pun tersenyum sambil mengembalikan berkas-berkasku.
                Aku berlalu dari ruko itu, agak sedikit tergesa, aku menuju ke lantai dasar mall untuk mencari pintu keluar dari mall. Aku menuju tempat cetak foto disebrang jalan. Nafasku sedikit tersengal sambil membuka foto mana yang akan aku cetak. Setelah foto selesai dicetak, aku kembali berlari menyebrang jalan & mencari ruko yang tadi.
                “Ini mbak, saya sudah cetak fotonya.” Aku kembali memberikan map itu.
                “Oke, sudah lengkap. Besok kamu bisa mulai bekerja ya. Tapi ngomong-ngomong kenapa kamu ngga sekolah ?” Mbak itu bertanya dengan penuh selidik.
                “Saya sedang libur sekolah mbak, jadi dari pada dirumah, saya memilih bekerja.” Aku menjawab dengan nada yang tenang, tak lagi terdengar tergesa-gesa.
                “Oooh, jadi kamu masih sekolah. Saya kira kamu udah selesai sekolah. Kalau begitu maaf dik, ngga bisa kerja disini. Soalnya saya sedang mencari karyawati tetap.” Jueegeerr berasa ada petir  menyambar perasaanku saat itu.
                Aku pamit dengan rasa kecewa. Setiap aku melihat lowongan, yang ada kebanyakan karyawannya pria. Huuufftt, lelah hari ini tak berarti apa-apa. Saat perjalanan pulang, aku teringat ibu & adikku yang ada di kampung. Bu, aku rindu padamu ibu, setengah tahun ini aku tak berjumpa denganmu, tidak merasakan lezatnya masakan buatanmu, tidak pergi berkebun berdua denganmu lagi. Bu, betapa aku merindukan semua itu.
                Adikku, betapa aku juga merindukanmu, aku rindu saat berkelahi denganmu, aku rindu shalat berjamaah disampingmu, aku merindukan mengajarimu matematika, aku rindu bermain sepeda berdua dengamu. Tuhan, mengapa aku harus dipisahkan dengan saudaraku. Terbesit dipikiranku, kenapa aku tidak pulang kampung saja ya ? Aku punya sedikit uang simpanan, jika digunakan untuk pergi ke kampung halaman ya cukuplah. Entah mengapa, perasaan itu terus mendesakku untuk mewujudkan keinginan itu. Tapi dengan siapa aku akan kesana ? Ayahku ? Ah tidak mungkin, beliau tidak mungkin mau meninggalkan pekerjaannya hanya untuk sekedar menemaniku berlibur. Sendirian ? Aku hanya anak kecil berusia 15 tahun yang tidak tahu apa-apa, ayahku pasti tidak mengizinkan untuk itu.
                Aku membuka pintu rumah, aku duduk di ruang utama rumah kecil ini. Rumah kontrakan, bila masuk langsung kamar tidur. Aku duduk di kasur dengan pikiran yang masih memikirkan tentang keinginanku untuk pulang ke kampung halaman, Banyumas. Ugghh keinginan ini begitu menggebu. Tinggal di kota Jakarta selama 6 bulan ini sangat membosankan.
                Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Banyumas tanpa berpamitan dengan ayahku. Maafkan aku ayah, aku sangat rindu dengan ibu & adikku, aku pergi hanya 2 minggu kok yah. Aku merencanakan ini dengan sangat matang. Aku akan pergi besok pagi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                Suara gemericik air terdengar, rupanya ayahku sedang mandi. Ini masih sangat pagi. Pukul 03.30. Tidurku tidak nyenyak memikirkan datangnya hari ini. Aku hanya memejamkan mata berpura-pura tidur agar ayahku tidak curiga. Ayahkupun berangkat bekerja. Pekerjaannya sebagai cady golf memang mengharuskannya berangkat sangat pagi untuk mengantri mendapatkan pemain.
                Aku bangkit dari tempat tidur, segera menaruh beberapa pakaian yang hendak aku bawa. Aku bergegas masuk kamar mandi. Byuurr.. Brrrr dinginnya membuatku menggigil, namun rasa menggigil itu telah terkalahkan oleh rasa semangatku bertemu dengan ibu & adikku.
                Aku berdiri hampir tepat di pintu. Bismillahirahmanirahim. Dengan doa & keberanian yang kuat, akupun berjalan menuju pertigaan garuda untuk menuju terminal Kampung Rambutan dengan menaiki angkot bernomor 40. Aku tak berhenti mengucapkan lafadz Allahu Akbar untuk keselamatanku saat dalam perjalanan.
                Kakiku telah menginjak terminal ini, terminal yang biasanya ku singgahi bersama dengan ayah, ibu & adikku. Namun kini aku sendiri, aku merasa bersombong pada diriku sendiri. Aku sudah besarkan ? Aku sudah dewasa sekarang.
                Aku berjalan menuju tempat bis yang berjejer rapi dengan armada yang berbeda-beda. Terlihat banyak sekali pedagang kaki lima & pedagang asongan yang menawarkan dagangannya. Aku tidak mempedulikan mereka. Tiba-tiba ada seorang bapak berusia sekitar 35 tahun menggunakan topi menghampiriku.
                “Neng, mau kemana neng ?” Bapak ini terus mengikutiku. Sedikit risih juga sih.
                “Purwokerto.” Aku menjawab singkat. Aku takut. Aku tak begitu mempedulikannya.
                “Ohh Purwokerto, sini neng ada bis yang mau kearah sana. Beli tiketnya di saya.” Bapak itu berbicara dengan nada yang ku artikan serius.
                Akupun percaya padanya, aku mengikutinya. Ia mengambil selembaran yang ia sobek dari buku tiket. Ia pun menuliskan harga Rp 200.000,00. Sontak aku kaget. Sepengetahuanku, jika ibu membeli tiket jurusan Purwokerto paling mahal seharga Rp 65.000,00. Aku berulang kali menawar hingga kami menyepakati harga Rp 100.000,00 untuk satu tiket. Sebenarnya masih terlalu mahal bagiku. Tapi yasudahlah, yang penting aku dapat sampai di Banyumas dengan selamat. Bapak itu berlalu dengan gerak-gerik mencurigakan. Aku memanggilnya hingga ada seorang pemuda menghampiriku.
                “Kenapa dik ?” Dia sedikit berlari menghampiriku yang masih kebingungan.
                “Eeeeee. Itu mas, kayaknya saya ditipu deh sama bapak itu. Saya ditinggal sendirian & saya tidak dikasih tau bisnya yang mana.” Wajahku panik saat itu. Haduuh, dasar anak kecil. Berani-beraninya pulang kampung sendiri. Begini kan jadinya.
                Mas-mas itupun mengejar bapak yang tadi. Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya berharap bahwa mas-mas yang satu ini baik padaku. Ia pun kembali, ia bicara bahwa bapak tadi itu calo, sebenarnya busnya ada tapi berangkatnya besok sore. Sedangkan harga tiket sebenarnya hanya Rp 45.000,00. Astahgfirullah. Yang aku sayangkan, masih saja ada orang mencari uang dengan cara tidak halal.
                Aku diantarkan menuju bis yang akan segera berangkat kearah Purwokerto. Ternyata mas-mas ini orang baik, terlihat dari saat dia menolongku tadi, dari cara ia berbicara & alhamdulillah ya Allah aku tak berhenti bersyukur, aku dipertemukan dengan orang baik ini. Jika tidak ada dia, aku pasti gagal berangkat ke Banyumas pagi ini. Aku duduk di bangku ke-3. Suasana dalam bus masih sepi, ada satu keluarga yang sedang menata barang-barangnya. Aku memperbaiki posisi dudukku senyaman mungkin.
                “Lain kali hati-hati ya dik. Jangan mudah percaya pada orang. Yaudah buat pelajaran aja ya.” Aku memperhatikannya menasehatiku, rasanya seperti dinasehati oleh kakak sendiri. Aku berucap terimakasih padanya sebelum ia turun dari bus yang kunaiki. Huuff.. Aku dapat bernafas lebih lega sekarang. Sembari menanti bus berangkat, aku mendengarkan beberapa musik yang ada di ponselku untuk menghilangkan kejenuhan.  Kursi disampingku belum ada yang menduduki, tidak begitu banyak penumpang yang ingin kearah Purwokerto. Sekeluarga yang tadi sedang membereskan barang, kini sedang duduk santai bercanda dengan anaknya.
                Sopir buspun naik tepat berhadapan dengan kemudinya. Bismillah.. Bus berangkat. Ibu, anak wadonmu yang manis ini pulang. Hahaha.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                Aku terbangun dari tidurku, rupanya sudah sekitar 3 jam aku terlelap di bus ini. Seketika aku merasakan gerah, panas, sumpek & keringat sudah membasahi kerah bajuku. Aku menyekanya dengan sapu tangan yang kubawa dari rumah tadi. Perjalanan macet, antrian kendaraan sangat panjang terlihat saat aku sedikit menggeser posisi dudukku agar bisa sedikit melihat keadaan di depan. Terdengar keluarga itu berbicara bahwa ada kerusakan jalan yang menyebabkan kemacetan.
                Oh Tuhan. Kalau begini bisa sampai Banyumas malam hari. Kepalaku pusing, perutku mual berasa ingin muntah. Ibu, aku mabuk perjalanan. Andaikan kau ada disampingku. Aku tak  mampu apa-apa tanpamu. Sadar bahwa betapa pentingnya seorang ibu bagi hidupku. Aku melihat tangan yang mengulurkan minyak kayu putih. Lagi-lagi aku bertemu dengan orang baik.
                “Ini dik, dipakai dulu. Semoga bisa membantu.” Aku menerimanya dengan mengucapkan terimakasih. Aroma minyak ini melegakanku. Jauh lebih baik dari pada tadi.
                Tengtong. Ada pesan dari ayahku. “Vi, kamu kemana ? Mau pergi ngga pamit ayah dulu.” Aku membalasnya “Iya ayah, ini lagi dirumah teman. Sebentar lagi Vivi pulang.” Maaf ayah, Vivi harus berbohong padamu kali ini.
                Perjalanan ini sangat membosankan, sangat menyebalkan, namun demi obat rinduku aku berusaha tidak cengeng & mengeluh. Satu jam kemudian ayahku sms lagi. Mungkin beliau sudah khawatir anak perempuannya tak juga pulang. “Vi, Lagi dimana ? Katanya kamu lagi pulang.” Saat aku membaca sms dari ayahku, sms kedua muncul. Kali ini dari ibuku. “Vi, kamu kemana. Tadi ayah telfon ibu. Katanya kamu belum pulang.” Belum sempat aku membalasnya, ibuku menelfonku. Ya Tuhan, aku harus menjawab apa ini. Aku ingin memberinya kejutan bahwa aku pulang ke Banyumas. Tapi.. Ah sudahlah. Aku putuskan untuk mengangkat telfonnya.
                Aku mendengar suara ibuku mengomel, sangat jelas nada suaranya yang mengartikan bahwa ia mengahawatirkan aku. Dengan pasrah, akhirnya aku berkata bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang ke Banyumas.
                Bus ini membawaku kembali ke tempat kelahiranku sekaligus masa kecilku. Setelah berjam-jam duduk dalam bus yang sumpek ini akhirnya aku sampai di gubukku. Gubuk lumayan besar lebih besar dari kontrakan di Jakarta, namun masih berdinding kayu yang membuatku selalu rindu ingin kembali kesini. Aku melihat adikku diruang tamu sedang menonton televisi. Akhirnya aku bertemu lagi dengan adikku yang tampan ini. Sekarang tepat pukul 10 malam. Ternyata mereka belum tidur menanti kedatanganku. Ada ibu, adik, mbah kakung & putri, uwa & kakak sepupuku.
                Mereka tersenyum menyambut kedatanganku. Jauh dari perkiraanku. Aku pikir mereka akan memarahiku. Aku menyalami tangan mereka satu persatu. Subhanallah. Bahagia sekali aku sekarang bisa pulang kembali ketempat dimana aku dilahirkan. Ya Allah, aku bahagia memiliki keluarga ini. Betapa aku sayang pada mereka, berikan aku kesempatan membahagiakan mereka, jagalah mereka saat aku jauh dari mereka ya Allah ya Rabb.
                Seperti dulu, terdengar suara gendhingan Jawa yang membuat hati ini tentram mengantarkan aku pada istirahat yang indah malam ini. Aku sangat nyaman dengan suasana tenang dikampungku ini. Akupun istirahat dikamarku yang sudah setengah tahun ini tidak kutiduri. Kamarnya bersih, sepray volcadot pink favoritku sudah disiapkan oleh ibuku. Meja belajar ada disamping tempat tidurku, meja yang menjadi saksi kerja keras belajarku pada masa SD & SMP kini masih terawat rapi. Gitar akustik yang ibu belikan untukku dulu juga tersimpan rapi dipojokan kamar. Aku segera mensucikan diri dengan mandi & shalat isya. Setelah itu, aku berbaring dikamar tidurku. Dua minggu kedepan aku akan mengahabiskan waktu yang indah bersama dengan orang-orang yang aku sayang. 

Selamat bermimpi indah Sylviani Oktavia…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar