Selasa, 09 Juni 2015

Aku Ingin Memiliki Suami Seperti Kakakku




                Allahu Akbar Allahu Akbar.. Panggilan shalat subuh menggugahku dalam mimpi malam itu. Aku mencoba beranjak dari tempat tidur yang masih merayuku untuk tidur kembali. Namun kewajiban ini pantang untuk aku tinggalkan. Ugghh.. Perut bawah sebelah kiriku sakit, badanku berasa lebih lesu tidak seperti bangun tidur biasanya. Aku merasakan udara yang keluar dari hidungku panas, aku menyalakan lampu untuk menerangi ruang makan & kamar mandi yang berfungsi sebagai ruang dapur juga, mataku merah saat aku melihat wajahku di cermin. Ya Allah, aku sakit.
                Hari ini adalah hari kesekian kalinya aku prakerin di Rawamangun. Tempat pertama kali aku marasakan lelahnya bekerja & susahnya mencari uang. Tempatnya yang tidak bisa dibilang dekat mengharuskanku berangkat pagi untuk sampai ke tempat prakerin dengan transportasi menggunakan bus trans Jakarta. Satu minggu ini aku sering melupakan persoalan sarapan, aku selalu tergesa mengejar waktu. Menghindar dari lamanya kemacetan di kota ini & jarak tempuh yang lumayan jauh.
                “Bu, perut Vivi sakit.” Aku meringik seperti anak kecil sembari memegang bagian perutku yang sakit. Wajah ibuku yang masih basah sehabis mengambil air wudhu langsung terlihat cemas.
                “ Yaudah Vi, jangan masuk dulu deh hari ini. Nanti kalau ayah pulang, kamu langsung berobat dari pada nanti kamu kenapa-kenapa ditempat prakerin kan malah repot.”
                Rasa sakit ini membuatku enggan melakukan kegiatan seperti biasanya. Setelah shalat, aku kembali tidur di pembaringanku sampai terbitnya surya yang mengawali hariku dengan sakit aneh ini, sakit yang baru pertama aku rasakan & aku harap ini yang terakhir.
 Udara sejuk di kota ini hanya dapat aku rasaan saat pagi hari. Sangat berbeda dengan suasana di desaku yang masih alami, aku dapat menghirup udara segar kapan saja. Karena itu, aku menjadi sangat suka bangun pagi untuk sekedar menghirup udara yang belum tercemar polusi. Menghirup udara yang sehat ternyata belum cukup untuk kesehatanku. Beberapa hari telat makan saja aku sudah seperti ini. Ya Tuhan, jika aku tahu akibatnya akan seperti ini, aku pasti akan selalu sarapan pagi.
Ibu membuatkan air hangat untuk mandiku pagi ini, aku tidak memintanya tapi ibuku sangat baik begitu perhatian padaku. Selesai mandi aku mencoba sarapan tapi baru satu suapan, rasanya perutku tak mau menerima. Mual. Terdengar suara ibuku sedang menelfon, aku menyimak sedikit percakapannya.
“Mas, ini loh adekmu sakit. Disuruh makan malah dimuntahin terus, coba kamu kesini mas. Siapa tahu Vivi mau makan kalo ada kamu.” Ternyata ibu sedang berbicara dengan kakakku. Huh, kakak yang sombong, ia sudah melupakan aku demi pekerjaannya.
Aku hanya mampu meminum seteguk air untuk mengganjal perutku yang lapar. Aneh. Lapar tapi aku sama sekali tidak berselera makan apapun. Aku selalu menggelengkan kepala ketika ibu menawarkan berbagai macam makanan yang hendak aku makan. Aku berbaring lagi & lagi setelah aku pergi berobat disalah satu rumah sakit di Jakarta. Dokter menyarankan aku untuk di rawat inap, namun dengan bersikeras aku tetap menolaknya. Aku tetap ingin berada dirumah.
Aku tertidur sejenak sebelum akhirnya aku melihat disampingku sudah ada pria jangkung, berusia 24 tahun sedang tersenyum konyol melihatku terbaring. Wajahnya yang tampan namun membuatku kesal hingga aku reflek membuang muka, aku tidak mau menatapnya.
“Adikku yang cantik ini kenapa ? Sakit ?” Ia berbicara dengan nada menggoda. Logat Jawanya sangat kental walaupun ia sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta.
“Mboten, Vivi mboten sakit.” Tidak, Vivi tidak sakit. Begitu jawabku padanya, wajahku masih tak mau menatapnya.
Kakak sudah tidak menggubris perkataanku. Dia pergi kedapur & membawa sepiring tahu Bandung goreng kesukaanku. Tetapi tidak berselera ya tetap tidak berselera. Hingga ia harus memaksaku sampai akhirnya sepotong tahu mampu aku makan. Masih mual, namun tidak separah tadi.
Kakakku adalah orang yang sibuk, aku merasa ia telah meninggalkanku. Kesuksesan meraih karir yang dulu ia cita-citakan membuatnya  lupa bahwa ia mempunyai jadwal bermain denganku setidaknya satu minggu sekali. Dulu aku sering bercanda denganya, mendengarkannya bercerita tentang Dewa Krisna, membelaku saat aku di ejek teman & selalu menggendongku ketika aku mulai lelah berjalan saat pulang dari kebun kakek. Ia adalah alasan mengapa aku tidak ingin memiliki teman laki-laki atau yang biasa disebut pacar. Dengan bersamanya, aku bahkan merasa memiliki lebih dari pacar. Tapi itu dulu. Ya. Dulu sebelum ia berhasil seperti sekarang.
Aku sangat bahagia sekarang kakakku sukses, tetapi jangan lupakan aku juga dong. Aku masih butuh perhatiannya, aku masih ingin mendengarkan ceritanya. Ia sangat mirip dengan kakekku, iya mengetahui berbagai cerita pewayangan, memiliki sopan santun yang sangat baik, tampan, badannyapun tinggi, sangat berbeda denganku. Atau kakak sudah punya pacar ? Huaahhh aku pasti akan sangat cemburu padanya bahkan mungkin aku akan marah pada pacar kakakku itu. Aku tidak mau kehilangannya ya Tuhan.
“Kemana aja mas kemarin-kemarin ? Kenapa baru bisa datang sekarang? Sibuk ? Atau sudah punya pacar?” Aku melirik tidak suka kearahnya, ia sedang mengupas apel yang dibawakannya untukku.
“De, mas sibuk. Mas sering lembur. Emang kenapa kalo mas punya pacar ? Kamu cemburu ya ?” Ia tertawa melihatku kesal.
“Oh, jadi mas sekarang udah punya pacar ?” Aku duduk & menghadap kearahnya.
“Hahaha serius banget sih de. Ya engga lah. Kakak udah bahagia punya dua wanita cantik. Ibu & kamu. Nih makan buah dulu biar cepet sembuh.” Ia menyuapkan sepotong apel padaku, tangannya mengusap rambutku, bahkan mengacak-acak.
Ini saat-saat yang aku rindukan. Tetapi mengapa ketika aku jatuh sakit, aku sangat merindukan berkeliling Jakarta bersamanya. Tak terasa perutku telah kenyang, kakakku ini yang membuatku lupa rasa sakit itu. Kakak yang menyiapkan semua yang aku butuhkan. Mulai dari minum, makan sampai minum obat. Sebenarnya aku mampu melakukannya sendiri, namun ini kesempatanku untuk bermanja-manja dengannya sebelum ia kembali pada kesibukannya.
Kami mengobrol sembari menonton film kartun Little Krisna, huff masih sama. Ia sangat mengidolakan Dewa Krisna setelah ia mengaku mengidolakan Nabi Muhammad saw. Aku berbagi cerita dengannya, tentang pengalamanku bersekolah di Uswatun Hasanah, tentang pertama kali merasakan prakerin & tentang segala-galanya. Semua rasa rinduku kutuangkan tanpa tersisa pada hari ini. Hingga ia mengantarku untuk tidur siang & mengecup keningku sambil berkata.
“Tidur dulu ya de, mas mau kamu cepet sembuh. Minggu depan kalau kamu sembuh mas janji mas mau ngajak kamu main di TMII.” Nyaman mendengarnya berbicara hingga kenyamanan itu membuatku terlelap dalam tidur.
Sudah sekitar 3 jam aku terlelap, aku terbangun mendengar pembicaraan ibu & kakakku.
“Mas, kamu kapan mau nikah? Ibu rasa sudah waktunya kamu untuk berumah tangga. Lagipula pekerjaanmu sudah jelas. Pasti banyak wanita yang ingin menjadi istrimu.”
“Bu, menikah itu hal yang sakral. Tidak bisa dimainkan, tidak bisa sembarangan mencari pasangan.  Aku ingin mendapatkan yang terbaik sebagai pendamping hidupku bu.”
Aku beranjak dari tempat tidur, mereka menoleh & menghentikan perbincangan mereka. Rupanya ibuku ingin kakak cepat berumah tangga. Ya Allah, jangan katakan bahwa aku akan kehilangan kakakku. Waktu terus berlalu sampai pada waktunya kakakku harus kembali ke tempat kostnya & menjalankan akttifitas seperti biasa. Bekerja, bekerja & bekerja. Ia berpamitan setelah ia menunaikan shalat maghrib di mushola dekat rumahku.
Aku ingin mengantarnya sampai ujung jalan, namun kakak melarangku. Ia khawatir perutku akan sakit lagi. Aku berdiri dengan tegap membuktikan bahwa aku sudah tidak sakit lagi, walaupun sebenarnya rasa nyeri itu masih ada.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                Hari ini hari minggu, hari yang dijanjikan kakakku untuk menemaniku pergi. Pukul 7 pagi aku sudah rapi dengan jilbab pink, kaos warna putih, jaket pink, celana jeans & sepatu kets warna pink. Aku sudah menunggu kehadirannya, walaupun aku tahu ini masih terlalu pagi. Mungkin kakakku baru bangun tidur atau bahkan masih tertidur dengan pulasnya karena kelelahan akibat lemburnya semalam. Namun janji tetap janji, dia tidak boleh mengingkarinya kali ini. Aku sudah berusaha untuk aku sembuh, agar aku bisa pergi dengannya. Jadi kakak tidak boleh menganggap remeh perjuanganku untuk sembuh.
                Kluung. Nada BBM terdengar dari ponselku, aku berharap ini pesan dari kakakku. Perkiraanku tepat, pesan dari kakakku. “De, mas baru jalan ke tempat kamu. Mas lagi nunggu busway.” Huffft, kalau sekarang baru jalan, berarti aku harus menunggunya setengah jam lagi agar dia sampai ke tempatku. Uuuuh masih lama, aku sudah serapi ini.

                Penantianku ini berujung pada kebahagiaan dua pasang kaki yang melangkah bersama, dua wajah yang terlihat sumringah, dua bersaudara yang bernostalgia mengingat saat masa kecil dulu. Jilbabku mulai basah karena keringat yang mengucur setelah kami berkeliling bersama. Kakak sedikit berlari mendahuluiku dan iapun berjongkok membelakangi ku. “Ayo dek, sini kakak gendong.” Kalimat yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Dengan sedikit terengah, akupun digendong kakak. Masa-masa yang kurindukan itu datang lagi. Dan kami kembali bersama, tanpa saling melupakan lagi.
            Aku sayang kakak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar